MADZHAB
SUNNI
(Baik
yang masih eksis maupun yang sudah lenyap)
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh
Dosen
Pengampu : Ibu Fatma Amalia, S.Ag
Disusun
Oleh :
Zidni Ilma
W 096300
Afid
Aryanto 10630002
Herni
Putri Ismar Haini 10630004
Fajariyah
Ulfah 10630005
Willy
Andriansyah 10630006
Putri
Apriana 10630008
Fuad Awal
Hafizh 10630010
PROGRAM
STUDI KIMIA
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan
ini perbedaan merupakan suatu keniscayaan, demikian juga dalam dunia pemikiran
hukum Islam atau Fiqh. Perbedaan merupakan hal biasa karena Fiqh seperti yang
diketahui adalah hasil ijtihad manusia yang tentu saja sangat relatif
tergantung dari berbagai faktor, antara lain faktor mujtahidnya atau siapa yang
berijtihad, faktor situasi dan kondisi yakni dalam situasi dan kondisi
bagaimanakah waktu mujtahid tersebut beristinbat, bagaimana situasi
pemerintahan pada waktu itu, dan lain sebagainya. Perbedaan cara pandang dan
metode penetapan hukum tersebut, akhirnya melahirkan aliran-aliran tertentu,
yang kemudian dikenal dengan aliran Ahlul Hadist dan Ahlur Ra’yi, ada yang
menyebut dengan istilah aliran tradisionalisme dan rasionalisme. Berkembangnya
kedua aliran ijtihad tersebut pada akhirnya melahirkan madzhab-madzhab dalam
fiqh yang memiliki corak metodologi dan produk hukum Islam atau Fiqh
tersendiri, serta masing-masing juga telah memiliki pengikut dari berbagai
lapisan masyarakat. Dalam sejarah pengkajian hukum Islam, dikenal beberapa
madzhab yang secara umum dikelompokkan menjadi dua kelomppok besar, yakni
madzhab Sunni dan madzhab Syar’i. Dalam madzhab Sunni sendiri dikenal berbagai
madzhab, antara lain : madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Adza’i,
Laitsi, Tsauri dan Dhahiri. Madzhab-madzhab tersebut tidak semuanya eksis
sampai saat ini, namun sebagian tidak ada yang berkembang bahkan tidak dikenal
lagi oleh masyarakat. Adapun yang masih eksis dan memiliki pengikut yang banyak
di lapisan masyarakat Islam di dunia adalah 4 madzhab pertama telah disebutkan
diatas, sementara itu 4 madzhab terakkhir adalah madzhab yang tidak berkembang
lagi.
PEMBAHASAN
A. MADZHAB
HANAFI
1. Asal
Usul Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah adalah Nu’man bin
Tsabit bin Zutha, lahir pada tahun 80 H di kota Kufah dan meninggal tahun 150 H
(tahun lahirnya Imam Syafi’i). Ketika beliau lahir umat Islam berada dibawah
kekhalifahan Bani Umayyah, tepatnya khalifah Malik bin Marwan, sedang di Irak
sendiri yang menjadi walinya adalah Al-Hajjaj Ats-Tsaqafi.
Diwaktu muda beliau juga merasakan
keadilan khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan hidup beliau terus berlanjut ketika
Bani Umayyah jatuh dan digantikan oleh Bani Abbasiyah. Jadi bisa dikatakan
bahwa beliau sangat mengetahui tentang polemik, kemajuan dan kemunduran
kekhalifahan Bani Umayyah. Sedangkan ketika beliau wafat umat Islam berada
dibawah kekhalifahan Al-Manshur dari Bani Abbasiyah.
Beliau termasuk kalangan Tabi’in, sebab
waktu itu beberapa sahabat yang masih hidup, seperti Anas bin Malik r.a di
Basrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Abu Thufail Amir bin Wailah di makkah
dan Sahal bin Sa’ad bin Sa’id di madinah, namun beliau tidak pernah bertemu
dengan seorangpun diantara mereka. Dengan demikian madzhab ini adalah madzhab
yang tertua diantara madzhab-madzhab Ahlu Sunnah.
2. Metode
Fiqh Abu Hanifah
Adapun metodenya dalam Fiqh sebagaimana
perkataan beliau sendiri : “Saya mengambil dari Kitabullah jika ada, jika tidak
saya temukan saya mengambil dari Sunnah dan Atsar dari Rasulullah SAW yang
shahih dan saya yakini kebenarannya, jika tidak saya temukan di dalam
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW, saya cari perkataan sahabat, saya ambil
yang saya butuhkan dan saya tinggalkan yang tidak saya butuhkan, kemudian saya
tidak mencariyang di luar perkataan mereka, jika permasalahan berujung pada
Ibrahim, Sya’bil, Al-Hasan, Ibnu Sirin dan Sa’id bin Musayyib (karena beliau
menganggap mereka adalah mujtahid) maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka
berijtihad”.
Metode yang dipakainya itu jika kita
rincikan maka ada sekitar 7 Ushul Istinbath yang digunakan oleh Imam Abu
Hanifah : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Perkataan Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan
‘Urf (adat).
a. Al-Qur’an,
Abu Hanifah memandang Al-Qur’an sebagai sumber pertama pengambilan hukum
sebagaimana imam-imam lainnya. Hanya saja beliau berbeda dengan sebagian mereka
dalam menjelaskan maksud (dilalah) Al-Qur’an tersebut, seperti dalam masalah
mafhum mukhalafah.
b. Sunnah/Hadits,
Imam Abu Hanifah juga memandang Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an sebagaimana imam-imam yang lain. Yang berbeda adalah beliau
menetapkan syarat-syarat khusus dalam penerimaan sebuah hadits (mungkin bisa
dilihat di Ushul Fiqh), yang memperlihatkan bahwa Abu Hanifah bukan saja
menilai sebuah hadits dari sisi Sanad (perawi), tetapi juga meneliti dari sisi
Matan (isi) hadits dengan membandingkannya dengan hadits-hadits lain dan
kaidah-kaidah umum yang telah baku dan disepakati.
c. Ijma’,
Imam Abu Hanifah mengambil Ijma’ secara mutlak tanpa memilih-milih, namun
setelah meneliti kebenaran terjadinya Ijma’ tersebut.
d. Perkataan
Sahabat, metode beliau adalah jika terdapat banyak perkataan sahabat, maka
beliau mengambil yang sesuai dengan ijtihadnya tanpa harus keluar dari
perkataan Sahabat yang ada itu, dan jika ada beberapa pendapat dari kalangan
Tabi’in beliau lebih cenderung berijtihad sendiri.
e. Qiyas,
beliau menggunakan jika mendapatkan permasalahan yang tidak ada nash yang menunjukkan
solusi permasalahan tersebut secara langsung atau tidak langsung (dilalah
isyarah atau thadhammuniyah). Disinilah nampak kelebihan Imam Abu Hanifah dalam
mencari sebab (ilat) hukum.
f. Istihsan,
dibandingkan imam-imam yang lain, Imam Abu Hanifah adalah orang yang paling
sering menggunakan istihsan dalam menetapkan hukum.
g. Urf,
dalam masalah ini Imam Abu Hanifah juga termasuk orang yang banyak memakai ‘urf
dalam masalah-masalah firi’ Fiqh, terutama dalam masalah sumpah (yamin), lafaz
talak, pembebasan budak, akad dan syarat.
B. MADZHAB MALIKI
1. Asal
Usul Madzhab Maliki
Sebagaimana Madzhab Hanafi, Madzhab
Maliki ini juga merupakan salah sattu madzhab dari golongan sunni. Adapun nama
dari madzha ini dinisbatkan dari nama seorang ilama bernama Imam Malik bin Anas
(93H-179H). Beliau lahir di Madinah dan menjadi ahli fiqh yang terkenal di
Madinah. Diriwayatkan bahwa beliau tidak pernah meningalkan kkota ini kecuali
pada waktu melaksanakan ibadah haji.
2. Dalil-Dalil
Yang Digunakan Oleh Madzhab Maliki
Imam Malik adalah orang yang sangat
hati-hati dan teliti dalam memberikan fatwa maupun meriwayatkan hadits meskipun
beliau dikenal sebagai ulama besar di Madinah. Metode pengajaran yang beliau
lakukan didasarkan pada ungkapan hadits dan pembahasan atas makna-maknanya lalu
dikaitkan dengan konteks permasalahan yang ada pada saat itu. Kadang beliau
juga menelaah masalah-masalah yang terjadi di daerah asal murid-muridnya,
kemudian mencarikan hadits-hadits atau atsar-atsar (pernyataan sahabat) yang
bisa digunakan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Imam Malik juga sangat
menghindari ekulasi, oleh karenanya madzhab Maliki dikenal sebagai Ahl-Hadits.
a. Al-Qur’an,
sebagaimana Imam Abu Hanifah, Imam Malik juga meletakkan Al-Qur’an sebagai
dalil dan dasar yang tertinggi di atas dalil-dalil yang lain.
b. As-Sunnah,
Imam Malik menjadikan As-Sunnah sebagai dalil kedua setelah Al-Qur’an. Berbeda
dengan Imam Abu Hanifah yang mensyaratkan penggunaan As-Sunnah dengan
kualifikasi tertentu, Imam Malik meski mengutamakan Al-Hadits yang mutawatir
dan masyhur juga bisa menerima Al-Hadits yang Ahad sekalipun asalkan tidak
bertetangan dengan amal ahli Madinah.
c. Amal
ahli Madinah (Praktik masyarakat Madinah), Imam Malik berpendapat bahwa Madinah
merupakan tempat Rasulullah SAW menghabiskan sepuluh tahun terakhir hidupnya,
maka praktik yang dilakukan oleh masyarakat Madinah merupakan bentuk As-Sunnah
yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan. Imam Malik lebih
mendahuluan dan mengutamakan tradisi masyarakat Madinah ini daripada Al-Hadits
yang Ahad, hal ini sesuai dengan pernyataan guru beliau Rabi’ah bin Abd
Ar-Rahman, bahwa : “seribu dari seribu
itu lebih baik daripada satu dari satu”.
d. Fatwa
Sahabat
e. Al-Qiyas
f. Al-Mashlahah
Al-Mursalah, Al-Mashlahah Al-Mursalah yakni menetapkan hukum atas berbagai
persoalan yang tidak ada petunjuk nyata dalam nash, dengan pertimbangan
kemashlahatan, yang proses analisisnya lebih banyak ditentukan oleh nalar
mujtahidnya.
g. Adz-Dzari’ah,
secara etimologi kata Az-Dzari’ah berarti sarana, sedangkan secara terminologi
para ahli Ushul adalah sarana atau jalan untuk sampai pada suatu tujuan. Adapun
tujuan tersebut bisa berupa kebaikan yang berarti mashlahah dan bisa pula
maksiat yang berarti mafsadah. Apabila sarana tersebut membawa pada kemaslahan,
maka harus dibuka peluang untuk melakukan, dalam ilmu Ushul Fiqh disebut dengan
Fath Adz-Dzari’ah, sedangkan sarana yang membawa pada kemafsadatan, maka harus
ditutup jalan untuk sampai kepadanya, dalam ilmu Ushul Fiqh disebut dengan Sadd
Adz-Dzari’ah.
Sebagai ulama besar di Madinah, Imam
Malik banyak didatangi murid-murid dari berbagai penjuru negeri yang ingin
berguru pada beliau. Diantara murid-murid beliau yang terkenal antara lain
adalah : Abd Ar-Rahman bin Al-Qasim, Ibnu wahab dan As-Syafi’i. Madzhab Maliki
ini sampai saat ini masih banyak pengikutnya dan mereka tersebar ke beberapa
negeri antara lain : Mesir, Sudan, Kwait, Bahrain, Maroko, dan Afrika.
C. MADZHAB SYAFI’I
1. Asal
Usul Madzhab Syafi’i
Imam Syafi’i mempunyai kecerdasan yang
luar biasa. Diriwayatkan bahwa sebelum dewasa beliau sudah hafal Al-Qur’an
dengan sempurna dan telah pula menguasai kitab Al-Muwaththa’. Dikota Makkah
beliau belajar pada beberapa guru antara lain : Muslim bin Khalid dan Sufyan
bin Uyainah, kemudian beliau juga belajar kepada Imam Malik di Madinah.
Pengembaraan Imam Asy-Syafi’i mencari
ilmu belum berhenti di Iraq, setelah sebelumnya beliau juga menimba ilmu agama
di beberapa daerah seperti di Makkah, Madinah dan Yaman. Dari Iraq beliau meuju
Mesir dengan tujuan hendak belajar Imam Al-Laits, namun belum sampai di Mesir
Imam Al-Laits telah meninggal. Tidak putus asa Imam Syafi’i tetap mendalami
ajaran Al-Laits lewat pada muridnya.
Imam Asy-Syafi’i terus menetap di Mesir
sampai beliau meninggal pada tahun 204 H. Beliau meninggalkan banyak karya
antara lain : Ar-Risalah, Al-Umm, Al-Hajjah, Al-Imla’, dan Al-Amali.
2. Dalil-Dalil
Yang Digunakan Oleh Madzhab Syafi’i
a. Al-Qur’an,
tidak berbeda dengan para pendahulunya, Imam Asy-Syafi’i meletakkan Al-Qur’an
sebagai dalil utama dan pertama dalam meletakkan suatu hukum, karena Al-Qur’an
datang dari Allah yang sampai pada umat Islam secara Mutawatir. Guna memahami
Al-Qur’an, Imam Asy-Syafi’i telah merumuskan kaidah-kaidah ijtihad yang beliau
tuangkan dalam kitab Ushul Fiqhnya yang berjudul Ar-Risalah.
b. As-Sunnah,
sebagaimana para pendahulunya Imam Asy-Syafi’i memposisikan As-Sunnah sebagai
dalil kedua setelah Al-Qur’an. Hanya perbedaannya adalah dalam penggunaannya
Imam Asy-Syafi’i tidak mensyaratkan kriteria sebagaimana Imam Abu Hanifah dan
Imam Malik.
c. Al-Ijma’,
Imam Asy-Syafi’i berpandangan bahwa kemungkinan ijma’ yang berarti persamaan
faham atau kesepakatan seluruh ulama’ atas suatu persoalan pada satu masa
merupakan hal yang sulit terjadi, karena jauhnya jarak dan sulitnya komunikasi
diantara para ulama’ tersebut, namun demikian beliau tetap megakui adanya ijma’
dan memeganginya sebagai dalil, dan yang mungkin terjadi adalah ijma’ sahabat
dalam persoalan-persoalan tertentu.
d. Perkataan
Sahabat, Imam Asy-Syafi’i memberi kepercayaan yang tinggi terhadap pendapat dan
hasil kajian para sahabat. Produk-produk ijtihad mereka yang dinyatakan lewat
ijma’ harus diterima secara mutlak, sedang fatwa-fatwa individual boleh
diterima dengan menganalisis dasar-dasar fatwanya.
e. Al-Qiyas,
dalam pandangan Asy-Syafi’i, untuk menjawab persoalan-persoalan yang tidak
dinyatakan secara eksplisit dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ maupun
fatwa-fatwa sahabat, seorang mujtahid melakukan ijtihad dengan menggunakan
Al-Qiyas yang senantiasa membawa Al-Furu’ kepada Al-Ashl.
f. Al-Istishab,
Al-Istishab berarti membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan
pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya hingga ada dalil lain yang
menggantikannya. Istishab ini didasarkan pada asumsi bahwa hukum Fiqh yang ada
bisa diaplikasikan pada setiap waktu dan tetap sah sepanjang tidak ada aturan
yang lain yang datang kemudian
D. MADZHAB HAMBALI
1. Asal
Usul Madzhab Hambali
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal lahir
di Bagdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H. Masa kecilnya dilalui dalam
keadaan sangat miskin, ayahnya hanya meninggalkan sebuah rumah kecil dan tanah
yang sempit. Pada masa remajanya, ia pernah bekerja sebagai buruh pembantu
ditempat tukang jahit, menjadi juru tulis, buruh penenun kain dan kuli angkut
barang-barang di pasar.
Imam Ahmad memang miskin dan selalu
bekerja keras untuk memenuhi keebutuhan hidup, namun ia adalah pelajar yang
gigih. Jangan heran, dalam usia 14 tahun, ia telah hafal Al-Qur’an dan
mengarang sebuah kitab.
Pada awalnya Imam Ahmad belajar fiqh
aliran ra’yu (logika, aliran Imam Hanafi) kepada Abu Yusuf Al-Baghdadi.
Sedangkan hadits dan ilmu hadits dipelajarinya secara mendalam kepada beberapa
muhadditsin Baghdad, terutama Imam Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al-Wasithi.
Kemudian Imam Ahmad mengembara ke Kufah,
Basrah, Madinah, Makkah, dan Yaman. Ketika di Makkah, ia sempat memperdalam
ilmu Ushul Fiqh kepada mujtahid besar zaman itu, Imam Muhammaad bin Idris
Asy-Syafi’i, pendiri Madzhab Syafi’i. Selain puluhan tahun mengembara mencari
ilmu, tepat ketika usia genap 40 tahun, Imam Ahmad bin Hanbal kembali ke
Baghdad dan mulai membuka majelis pengajian. Tingkat kealimannya sangat tinggi
membuatnya mampu melakukan ijtihad mutlak secara mandiri, tanpa menggantungkan
diri kepada hasil ijtihad ulama lain. Melalui halaqahnya itulah Madzhab Hambali
lahir dan menyebar keseluruh penjuru dunia.
2. Metode
Fiqh Madzhab Hambali
Madzhab Hambali terkenal sangat ketat
dan teguh dalam menggunakan dasar sunnah. Tak mengherankan dalam berbagai
literatur, madzhab ini juga sering disebut dengan nama fiqh assunnah. Lihat
saja porsi sunnah dalam kerangka dan pondasi madzhab ini, yang menurut Ibnu
Qayyim Al-Jauziah, salah seorang ulama Madzhab Hambali, dibangun diatas lima
hal :
a. Al-Qur’an
dan Sunnah
b. Fatwa
sahabat (baik yang disepakati maupun diperselisihkan)
c. Hadits
mursal (hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in dari Nabi Muhammad SAW)
d. Hadits
dha’if
e. Ijtihad;
metode ijtihad yang lazim digunakan adalah qiyas (analogi)
Menurut Imam Ahmad, Al-Qur’an dan sunnah
memang memiliki kedudukan yang sejajar sebagai dasar hukum. Alasannya,
kehujjahan sunnah Nabi ditetapkan oleh Al-Qur’an, dan sunnah Nabi sendiri
merupakan penjelasan ini Al-Qur’an yang dipaparkan oleh orang yang memang
ditunjuk dan diberi mandat langsung oleh Allah untuk menjelaskannya. Meski
sejajar, dalam prakteknya, Imam Ahmad selalu mendahulukan nash Al-Qur’an.
Bagi Imam Ahmad, jika sudah ditemukan
suatu nash sunnah yang bisa dijadikan dasar hukum suatu masalah, ia akan
berpegangan teguh padanya, meski pendapat dalam hadits tersebut berbeda dengan
pendapat para sahabat.
Setelah sunnah Rasulullah SAW, Imam
Ahmad juga mendasarkan hukumnya pada ijma’ sahabat, dengan syarat benar-benar
terjadi, misalnya tentang kewajiban shalat lima waktu, puasa, zakat, dan haji.
Selanjutnya, seperti gurunya, Imam Syafi’i, jjika masih belum menemukan dasar
hukum juga, Imam Ahmad menggunakan pendapat sahabat yang tidak diketahui ada
perselisihan. Lalu pendapat sahabat yang diketahui terdapat ikhtilaf. Dalam
menyikapi perbedaan pendapat tersebut, Imam Ahmad mengambil pendapat yang
paling dekat dengan dasar yang lebih kuat.
Menurut Syaikh Salim As-Saqafi, guru
besar ilmu fiqih di Universitas Ummul Qura, Makkah, sebenarnya, selain meenggunakan
qiyas dalam ijtihadnya, Imam Ahmad juga menggunakan metode ijtihad lainnya,
seperti istishab (penetapan atau berlakunya hukum terhadap suatu perkara atau
dasar hukum itu berlaku sebelumnya. Karena tidak adanya illat yang mengaruskan
terjadinya perubahan hukum tersebut), syadudz dzari’ah atau saddud dzaea’
(melarang suatu perbuatan yang pada dasarnya mubah, karena diperkirakan akan
munculkan hal negatif dibelakang hari), dan maslahah mursalah (kemaslahatan
yang tidak didukung atau diarang oleh dalil tertentu).
Contoh fatwa Imam Ahmad bin Hanbal,
antara lain, dalam hal muamalah, calon istri boleh mengajukan syarat pernikahan
kepada calon suaminya, misalnya tidak akan dimadu selama hidup. Jika sang calon
suami menyetujui, ia terikat perjanjian itu. Dan jika perjanjian itu dilanggar,
sang istri berhak megajukan fasakh (pembatalan ikatan pernikahan). Sedangkan
dalam hal ibadah, misalnya, orang yang tertidur sambil berdiri, duduk, atau
ruku’, hingga tersungkur jatuh, tidak membatalkan wudhunyya. Kemudian shalatnya
makmum diluar masjid yang bisa mengikuti gerakan imam, hukumnya sah, meskipun
pintu masjid dalam keadaan tertutup.
E. MADZHAB AUZA’I
Seperti
madzhab-madzhab lain, nama madzhab ini juga diambil dari nama pendirinya, yakni
abdurrahman bin Muhammad Al-Auza’i yang lahir pada tahun 88 H. Imam Al-Auza’i
ini termasuk ulama’ yang menentang penggunaan Al-Qiyas secara berlebihan.
Beliau senantiasa mengembalikan furu’ pada hadits Nabi tanpa melakukan kajian
Al-Qiyas.
Beliau
menghabiskan sebagian besar hidupnya di Beirut, sampai wafat tahun 157 H. Akan
tetapi madzhabnya lebih dikenal di Syiria, Yordania, dan bahkan sampai
Andalusia atau Spanyol.
F. MADZHAB
LAITSI
Madzhab
Laitsi ini merupakan madzhab yang dikembangkan oleh Imam Laits bin Sa’ad yang
lahir di Mesir setelah belajar secara mendalam tentang berbagai bidang ilmu
keislaman. Dalil-dalil yang beliau gunakan dalam melakukan kajian hukum hampir
sama dengan para imam lainnya, hanya beliau tidak sependapat dengan Imam Malik
dalam hal penggunaan tradisi masyarakat Madinah sebagai dalil dalam menetapkan
suatu hukum. Beliau meninggal pada tahun 175 H.
G. MADZHAB TSAURI
Madzhab
ini dikembangkan oleh ulama terkemuka di Kufah yang bernama Imam Syufyan
Ats-Tsauri yang lahir pada tahun 97 H. Imam Ats-Tsauri adalah ulama yang hidup
semasa dengan Imam Abu Hanifah, akan tetapi mereka mempunyai pandangan yang
berbeda dalam penggunaan Al-Qiyas dan Al-Istihsan.
Imam
Ats-Tsauri pernah ditawari oelh khalifah untuk menjadi qadli dengan syarat
tidak akan membuat fatwa yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah, namun
beliau menolaknya. Akhirnya beliau dipaksa untuk berhenti mengajar. Setelah itu
beliaupun hidup dalam persembunyian hingga wafat pada tahun 161 H.
H. MADZHAB DHAHIRI
Madzhab
ini dipelopori oelh Dawud bin Ali Al-Ashbahani yang lahir pada tahun 202 H.
Beliau belajar fiqh dari murid-murid Imam Asy-Syafi’i oleh karenanya
diriwayatkan pada mulanya beliau bermadzhab Asy-Syafi’i, namun akhirnya beliau
mengkritik madzhab Asy-Syafi’i tersebut karena menurutnya Asy-Syafi’i tidak konsisten
dengan menggunakan Al-Qiyas dan Al-Istihsan adalah sama. Dawud pernah berkata :
“Saya telah mempelajari dalil-dalil yang
dipergunakan oleh Asy-Syafi’i untuk menentang Al-Istihsan, maka saya
menemukan bahwa dalil-dalil tersebut membatalkan Al-Qiyas”.
Kemudian
beliau menggunakan cara tersendiri dalam kajian hukumnya, yakni dengan
menekankan pada pemahaman literasi yakni berpegangan pada makna harfiyah atau
dhahir nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah, oleh karenanya, madzhabnya disebut
dengan madzhab dhahiri, hal ini berlainan dengan nama madzhab-madzhab lain yang
dinisbatkan dari metode kajian hukumnya.
I. Faktor
Penyebab Eksis dan Lenyapnya Suatu Madzhab
1. Faktor-faktor
penyebab eksisnya suatu madzhab :
a. Adanya
para murid dan pengikut yang turut menyebarkan pemikiran-pemikiran madzhab
tersebut.
b. Adanya
pengaruh dan campur tangan penguasa dalam menentukan kebijakan dan
aturan-aturan hukum suatu negeri, seperti kebijakan yang menentukan madzhab
tertentu sebagai madzhab resmi negara.
c. Adannya
karya-karya peninggalan madzhab yang masih bisa diakses dan dipelajari oleh
generasi berikutnya.
2. Faktor-faktorr
lenyapnya suatu madzhab :
a. Adanya
pengaruh dari kebijakan penguasa.
b. Tidak
adanya karya-karya peeninggalan madzhab yang memadai.
c. Faktor
para murid dan para pengikut.
KESIMPULAN
Satu
prinsip dasar yang dipegang sunni yang menjadi ciri baginya ialah dalam
memahami agam mereka mengambil jalan tengah (wasathan). Mereka berpegangan pada
asas keseimbangan (equalibrium) yang mengacu pada Al-Qur’an dan sunnah dan
berusaha mencari perdamaian antara dua sisi ekstrim yang bertentangan. Sunni
menyeimbangkan dan mendamaikan antara akal dan naql, menyeimbangkan antara
dunia dan akhirat dan mendamaikan antara fiqh dan tassawuf.
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedia hukum Islam,
1997, Jakarta, PT.Ichtiar Baru Van Hoeve
Muhammad
Ali As-saayis, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Hikum Fiqh, Jakarta,
PT.Raja Grafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar