Halaman

Sabtu, 14 Januari 2012

MADZHAB SUNNI


MADZHAB SUNNI
(Baik yang masih eksis maupun yang sudah lenyap)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Ibu Fatma Amalia, S.Ag







Disusun Oleh :
                                      Zidni Ilma W                          096300
                                      Afid Aryanto                         10630002
                                      Herni Putri Ismar Haini          10630004
                                      Fajariyah Ulfah                      10630005
                                      Willy Andriansyah                 10630006
                                      Putri Apriana                          10630008
                                      Fuad Awal Hafizh                 10630010

PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011





PENDAHULUAN

 LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan ini perbedaan merupakan suatu keniscayaan, demikian juga dalam dunia pemikiran hukum Islam atau Fiqh. Perbedaan merupakan hal biasa karena Fiqh seperti yang diketahui adalah hasil ijtihad manusia yang tentu saja sangat relatif tergantung dari berbagai faktor, antara lain faktor mujtahidnya atau siapa yang berijtihad, faktor situasi dan kondisi yakni dalam situasi dan kondisi bagaimanakah waktu mujtahid tersebut beristinbat, bagaimana situasi pemerintahan pada waktu itu, dan lain sebagainya. Perbedaan cara pandang dan metode penetapan hukum tersebut, akhirnya melahirkan aliran-aliran tertentu, yang kemudian dikenal dengan aliran Ahlul Hadist dan Ahlur Ra’yi, ada yang menyebut dengan istilah aliran tradisionalisme dan rasionalisme. Berkembangnya kedua aliran ijtihad tersebut pada akhirnya melahirkan madzhab-madzhab dalam fiqh yang memiliki corak metodologi dan produk hukum Islam atau Fiqh tersendiri, serta masing-masing juga telah memiliki pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Dalam sejarah pengkajian hukum Islam, dikenal beberapa madzhab yang secara umum dikelompokkan menjadi dua kelomppok besar, yakni madzhab Sunni dan madzhab Syar’i. Dalam madzhab Sunni sendiri dikenal berbagai madzhab, antara lain : madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Adza’i, Laitsi, Tsauri dan Dhahiri. Madzhab-madzhab tersebut tidak semuanya eksis sampai saat ini, namun sebagian tidak ada yang berkembang bahkan tidak dikenal lagi oleh masyarakat. Adapun yang masih eksis dan memiliki pengikut yang banyak di lapisan masyarakat Islam di dunia adalah 4 madzhab pertama telah disebutkan diatas, sementara itu 4 madzhab terakkhir adalah madzhab yang tidak berkembang lagi.






PEMBAHASAN
A.    MADZHAB HANAFI
1.      Asal Usul Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Zutha, lahir pada tahun 80 H di kota Kufah dan meninggal tahun 150 H (tahun lahirnya Imam Syafi’i). Ketika beliau lahir umat Islam berada dibawah kekhalifahan Bani Umayyah, tepatnya khalifah Malik bin Marwan, sedang di Irak sendiri yang menjadi walinya adalah Al-Hajjaj Ats-Tsaqafi.
Diwaktu muda beliau juga merasakan keadilan khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan hidup beliau terus berlanjut ketika Bani Umayyah jatuh dan digantikan oleh Bani Abbasiyah. Jadi bisa dikatakan bahwa beliau sangat mengetahui tentang polemik, kemajuan dan kemunduran kekhalifahan Bani Umayyah. Sedangkan ketika beliau wafat umat Islam berada dibawah kekhalifahan Al-Manshur dari Bani Abbasiyah.
Beliau termasuk kalangan Tabi’in, sebab waktu itu beberapa sahabat yang masih hidup, seperti Anas bin Malik r.a di Basrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Abu Thufail Amir bin Wailah di makkah dan Sahal bin Sa’ad bin Sa’id di madinah, namun beliau tidak pernah bertemu dengan seorangpun diantara mereka. Dengan demikian madzhab ini adalah madzhab yang tertua diantara madzhab-madzhab Ahlu Sunnah.
2.      Metode Fiqh Abu Hanifah
Adapun metodenya dalam Fiqh sebagaimana perkataan beliau sendiri : “Saya mengambil dari Kitabullah jika ada, jika tidak saya temukan saya mengambil dari Sunnah dan Atsar dari Rasulullah SAW yang shahih dan saya yakini kebenarannya, jika tidak saya temukan di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW, saya cari perkataan sahabat, saya ambil yang saya butuhkan dan saya tinggalkan yang tidak saya butuhkan, kemudian saya tidak mencariyang di luar perkataan mereka, jika permasalahan berujung pada Ibrahim, Sya’bil, Al-Hasan, Ibnu Sirin dan Sa’id bin Musayyib (karena beliau menganggap mereka adalah mujtahid) maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.
Metode yang dipakainya itu jika kita rincikan maka ada sekitar 7 Ushul Istinbath yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Perkataan Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan ‘Urf (adat).
a.       Al-Qur’an, Abu Hanifah memandang Al-Qur’an sebagai sumber pertama pengambilan hukum sebagaimana imam-imam lainnya. Hanya saja beliau berbeda dengan sebagian mereka dalam menjelaskan maksud (dilalah) Al-Qur’an tersebut, seperti dalam masalah mafhum mukhalafah.
b.      Sunnah/Hadits, Imam Abu Hanifah juga memandang Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana imam-imam yang lain. Yang berbeda adalah beliau menetapkan syarat-syarat khusus dalam penerimaan sebuah hadits (mungkin bisa dilihat di Ushul Fiqh), yang memperlihatkan bahwa Abu Hanifah bukan saja menilai sebuah hadits dari sisi Sanad (perawi), tetapi juga meneliti dari sisi Matan (isi) hadits dengan membandingkannya dengan hadits-hadits lain dan kaidah-kaidah umum yang telah baku dan disepakati.
c.       Ijma’, Imam Abu Hanifah mengambil Ijma’ secara mutlak tanpa memilih-milih, namun setelah meneliti kebenaran terjadinya Ijma’ tersebut.
d.      Perkataan Sahabat, metode beliau adalah jika terdapat banyak perkataan sahabat, maka beliau mengambil yang sesuai dengan ijtihadnya tanpa harus keluar dari perkataan Sahabat yang ada itu, dan jika ada beberapa pendapat dari kalangan Tabi’in beliau lebih cenderung berijtihad sendiri.
e.       Qiyas, beliau menggunakan jika mendapatkan permasalahan yang tidak ada nash yang menunjukkan solusi permasalahan tersebut secara langsung atau tidak langsung (dilalah isyarah atau thadhammuniyah). Disinilah nampak kelebihan Imam Abu Hanifah dalam mencari sebab (ilat) hukum.
f.       Istihsan, dibandingkan imam-imam yang lain, Imam Abu Hanifah adalah orang yang paling sering menggunakan istihsan dalam menetapkan hukum.
g.      Urf, dalam masalah ini Imam Abu Hanifah juga termasuk orang yang banyak memakai ‘urf dalam masalah-masalah firi’ Fiqh, terutama dalam masalah sumpah (yamin), lafaz talak, pembebasan budak, akad dan syarat.


B.     MADZHAB MALIKI
1.      Asal Usul Madzhab Maliki
Sebagaimana Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki ini juga merupakan salah sattu madzhab dari golongan sunni. Adapun nama dari madzha ini dinisbatkan dari nama seorang ilama bernama Imam Malik bin Anas (93H-179H). Beliau lahir di Madinah dan menjadi ahli fiqh yang terkenal di Madinah. Diriwayatkan bahwa beliau tidak pernah meningalkan kkota ini kecuali pada waktu melaksanakan ibadah haji.
2.      Dalil-Dalil Yang Digunakan Oleh Madzhab Maliki
Imam Malik adalah orang yang sangat hati-hati dan teliti dalam memberikan fatwa maupun meriwayatkan hadits meskipun beliau dikenal sebagai ulama besar di Madinah. Metode pengajaran yang beliau lakukan didasarkan pada ungkapan hadits dan pembahasan atas makna-maknanya lalu dikaitkan dengan konteks permasalahan yang ada pada saat itu. Kadang beliau juga menelaah masalah-masalah yang terjadi di daerah asal murid-muridnya, kemudian mencarikan hadits-hadits atau atsar-atsar (pernyataan sahabat) yang bisa digunakan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Imam Malik juga sangat menghindari ekulasi, oleh karenanya madzhab Maliki dikenal sebagai Ahl-Hadits.
a.       Al-Qur’an, sebagaimana Imam Abu Hanifah, Imam Malik juga meletakkan Al-Qur’an sebagai dalil dan dasar yang tertinggi di atas dalil-dalil yang lain.
b.      As-Sunnah, Imam Malik menjadikan As-Sunnah sebagai dalil kedua setelah Al-Qur’an. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang mensyaratkan penggunaan As-Sunnah dengan kualifikasi tertentu, Imam Malik meski mengutamakan Al-Hadits yang mutawatir dan masyhur juga bisa menerima Al-Hadits yang Ahad sekalipun asalkan tidak bertetangan dengan amal ahli Madinah.
c.       Amal ahli Madinah (Praktik masyarakat Madinah), Imam Malik berpendapat bahwa Madinah merupakan tempat Rasulullah SAW menghabiskan sepuluh tahun terakhir hidupnya, maka praktik yang dilakukan oleh masyarakat Madinah merupakan bentuk As-Sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan. Imam Malik lebih mendahuluan dan mengutamakan tradisi masyarakat Madinah ini daripada Al-Hadits yang Ahad, hal ini sesuai dengan pernyataan guru beliau Rabi’ah bin Abd Ar-Rahman, bahwa  : “seribu dari seribu itu lebih baik daripada satu dari satu”.
d.      Fatwa Sahabat
e.       Al-Qiyas
f.       Al-Mashlahah Al-Mursalah, Al-Mashlahah Al-Mursalah yakni menetapkan hukum atas berbagai persoalan yang tidak ada petunjuk nyata dalam nash, dengan pertimbangan kemashlahatan, yang proses analisisnya lebih banyak ditentukan oleh nalar mujtahidnya.
g.      Adz-Dzari’ah, secara etimologi kata Az-Dzari’ah berarti sarana, sedangkan secara terminologi para ahli Ushul adalah sarana atau jalan untuk sampai pada suatu tujuan. Adapun tujuan tersebut bisa berupa kebaikan yang berarti mashlahah dan bisa pula maksiat yang berarti mafsadah. Apabila sarana tersebut membawa pada kemaslahan, maka harus dibuka peluang untuk melakukan, dalam ilmu Ushul Fiqh disebut dengan Fath Adz-Dzari’ah, sedangkan sarana yang membawa pada kemafsadatan, maka harus ditutup jalan untuk sampai kepadanya, dalam ilmu Ushul Fiqh disebut dengan Sadd Adz-Dzari’ah.

Sebagai ulama besar di Madinah, Imam Malik banyak didatangi murid-murid dari berbagai penjuru negeri yang ingin berguru pada beliau. Diantara murid-murid beliau yang terkenal antara lain adalah : Abd Ar-Rahman bin Al-Qasim, Ibnu wahab dan As-Syafi’i. Madzhab Maliki ini sampai saat ini masih banyak pengikutnya dan mereka tersebar ke beberapa negeri antara lain : Mesir, Sudan, Kwait, Bahrain, Maroko, dan Afrika.


C.     MADZHAB SYAFI’I
1.      Asal Usul Madzhab Syafi’i
Imam Syafi’i mempunyai kecerdasan yang luar biasa. Diriwayatkan bahwa sebelum dewasa beliau sudah hafal Al-Qur’an dengan sempurna dan telah pula menguasai kitab Al-Muwaththa’. Dikota Makkah beliau belajar pada beberapa guru antara lain : Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Uyainah, kemudian beliau juga belajar kepada Imam Malik di Madinah.
Pengembaraan Imam Asy-Syafi’i mencari ilmu belum berhenti di Iraq, setelah sebelumnya beliau juga menimba ilmu agama di beberapa daerah seperti di Makkah, Madinah dan Yaman. Dari Iraq beliau meuju Mesir dengan tujuan hendak belajar Imam Al-Laits, namun belum sampai di Mesir Imam Al-Laits telah meninggal. Tidak putus asa Imam Syafi’i tetap mendalami ajaran Al-Laits lewat pada muridnya.
Imam Asy-Syafi’i terus menetap di Mesir sampai beliau meninggal pada tahun 204 H. Beliau meninggalkan banyak karya antara lain : Ar-Risalah, Al-Umm, Al-Hajjah, Al-Imla’, dan Al-Amali.
2.      Dalil-Dalil Yang Digunakan Oleh Madzhab Syafi’i
a.       Al-Qur’an, tidak berbeda dengan para pendahulunya, Imam Asy-Syafi’i meletakkan Al-Qur’an sebagai dalil utama dan pertama dalam meletakkan suatu hukum, karena Al-Qur’an datang dari Allah yang sampai pada umat Islam secara Mutawatir. Guna memahami Al-Qur’an, Imam Asy-Syafi’i telah merumuskan kaidah-kaidah ijtihad yang beliau tuangkan dalam kitab Ushul Fiqhnya yang berjudul Ar-Risalah.
b.      As-Sunnah, sebagaimana para pendahulunya Imam Asy-Syafi’i memposisikan As-Sunnah sebagai dalil kedua setelah Al-Qur’an. Hanya perbedaannya adalah dalam penggunaannya Imam Asy-Syafi’i tidak mensyaratkan kriteria sebagaimana Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.
c.       Al-Ijma’, Imam Asy-Syafi’i berpandangan bahwa kemungkinan ijma’ yang berarti persamaan faham atau kesepakatan seluruh ulama’ atas suatu persoalan pada satu masa merupakan hal yang sulit terjadi, karena jauhnya jarak dan sulitnya komunikasi diantara para ulama’ tersebut, namun demikian beliau tetap megakui adanya ijma’ dan memeganginya sebagai dalil, dan yang mungkin terjadi adalah ijma’ sahabat dalam persoalan-persoalan tertentu.
d.      Perkataan Sahabat, Imam Asy-Syafi’i memberi kepercayaan yang tinggi terhadap pendapat dan hasil kajian para sahabat. Produk-produk ijtihad mereka yang dinyatakan lewat ijma’ harus diterima secara mutlak, sedang fatwa-fatwa individual boleh diterima dengan menganalisis dasar-dasar fatwanya.
e.       Al-Qiyas, dalam pandangan Asy-Syafi’i, untuk menjawab persoalan-persoalan yang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ maupun fatwa-fatwa sahabat, seorang mujtahid melakukan ijtihad dengan menggunakan Al-Qiyas yang senantiasa membawa Al-Furu’ kepada Al-Ashl.
f.       Al-Istishab, Al-Istishab berarti membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya hingga ada dalil lain yang menggantikannya. Istishab ini didasarkan pada asumsi bahwa hukum Fiqh yang ada bisa diaplikasikan pada setiap waktu dan tetap sah sepanjang tidak ada aturan yang lain yang datang kemudian


D.    MADZHAB HAMBALI
1.      Asal Usul Madzhab Hambali
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal lahir di Bagdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H. Masa kecilnya dilalui dalam keadaan sangat miskin, ayahnya hanya meninggalkan sebuah rumah kecil dan tanah yang sempit. Pada masa remajanya, ia pernah bekerja sebagai buruh pembantu ditempat tukang jahit, menjadi juru tulis, buruh penenun kain dan kuli angkut barang-barang di pasar.
Imam Ahmad memang miskin dan selalu bekerja keras untuk memenuhi keebutuhan hidup, namun ia adalah pelajar yang gigih. Jangan heran, dalam usia 14 tahun, ia telah hafal Al-Qur’an dan mengarang sebuah kitab.
Pada awalnya Imam Ahmad belajar fiqh aliran ra’yu (logika, aliran Imam Hanafi) kepada Abu Yusuf Al-Baghdadi. Sedangkan hadits dan ilmu hadits dipelajarinya secara mendalam kepada beberapa muhadditsin Baghdad, terutama Imam Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al-Wasithi.
Kemudian Imam Ahmad mengembara ke Kufah, Basrah, Madinah, Makkah, dan Yaman. Ketika di Makkah, ia sempat memperdalam ilmu Ushul Fiqh kepada mujtahid besar zaman itu, Imam Muhammaad bin Idris Asy-Syafi’i, pendiri Madzhab Syafi’i. Selain puluhan tahun mengembara mencari ilmu, tepat ketika usia genap 40 tahun, Imam Ahmad bin Hanbal kembali ke Baghdad dan mulai membuka majelis pengajian. Tingkat kealimannya sangat tinggi membuatnya mampu melakukan ijtihad mutlak secara mandiri, tanpa menggantungkan diri kepada hasil ijtihad ulama lain. Melalui halaqahnya itulah Madzhab Hambali lahir dan menyebar keseluruh penjuru dunia.
2.      Metode Fiqh Madzhab Hambali
Madzhab Hambali terkenal sangat ketat dan teguh dalam menggunakan dasar sunnah. Tak mengherankan dalam berbagai literatur, madzhab ini juga sering disebut dengan nama fiqh assunnah. Lihat saja porsi sunnah dalam kerangka dan pondasi madzhab ini, yang menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, salah seorang ulama Madzhab Hambali, dibangun diatas lima hal :
a.       Al-Qur’an dan Sunnah
b.      Fatwa sahabat (baik yang disepakati maupun diperselisihkan)
c.       Hadits mursal (hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in dari Nabi Muhammad SAW)
d.      Hadits dha’if
e.       Ijtihad; metode ijtihad yang lazim digunakan adalah qiyas (analogi)
Menurut Imam Ahmad, Al-Qur’an dan sunnah memang memiliki kedudukan yang sejajar sebagai dasar hukum. Alasannya, kehujjahan sunnah Nabi ditetapkan oleh Al-Qur’an, dan sunnah Nabi sendiri merupakan penjelasan ini Al-Qur’an yang dipaparkan oleh orang yang memang ditunjuk dan diberi mandat langsung oleh Allah untuk menjelaskannya. Meski sejajar, dalam prakteknya, Imam Ahmad selalu mendahulukan nash Al-Qur’an.
Bagi Imam Ahmad, jika sudah ditemukan suatu nash sunnah yang bisa dijadikan dasar hukum suatu masalah, ia akan berpegangan teguh padanya, meski pendapat dalam hadits tersebut berbeda dengan pendapat para sahabat.
Setelah sunnah Rasulullah SAW, Imam Ahmad juga mendasarkan hukumnya pada ijma’ sahabat, dengan syarat benar-benar terjadi, misalnya tentang kewajiban shalat lima waktu, puasa, zakat, dan haji. Selanjutnya, seperti gurunya, Imam Syafi’i, jjika masih belum menemukan dasar hukum juga, Imam Ahmad menggunakan pendapat sahabat yang tidak diketahui ada perselisihan. Lalu pendapat sahabat yang diketahui terdapat ikhtilaf. Dalam menyikapi perbedaan pendapat tersebut, Imam Ahmad mengambil pendapat yang paling dekat dengan dasar yang lebih kuat.
Menurut Syaikh Salim As-Saqafi, guru besar ilmu fiqih di Universitas Ummul Qura, Makkah, sebenarnya, selain meenggunakan qiyas dalam ijtihadnya, Imam Ahmad juga menggunakan metode ijtihad lainnya, seperti istishab (penetapan atau berlakunya hukum terhadap suatu perkara atau dasar hukum itu berlaku sebelumnya. Karena tidak adanya illat yang mengaruskan terjadinya perubahan hukum tersebut), syadudz dzari’ah atau saddud dzaea’ (melarang suatu perbuatan yang pada dasarnya mubah, karena diperkirakan akan munculkan hal negatif dibelakang hari), dan maslahah mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau diarang oleh dalil tertentu).
Contoh fatwa Imam Ahmad bin Hanbal, antara lain, dalam hal muamalah, calon istri boleh mengajukan syarat pernikahan kepada calon suaminya, misalnya tidak akan dimadu selama hidup. Jika sang calon suami menyetujui, ia terikat perjanjian itu. Dan jika perjanjian itu dilanggar, sang istri berhak megajukan fasakh (pembatalan ikatan pernikahan). Sedangkan dalam hal ibadah, misalnya, orang yang tertidur sambil berdiri, duduk, atau ruku’, hingga tersungkur jatuh, tidak membatalkan wudhunyya. Kemudian shalatnya makmum diluar masjid yang bisa mengikuti gerakan imam, hukumnya sah, meskipun pintu masjid dalam keadaan tertutup.


E.     MADZHAB AUZA’I
Seperti madzhab-madzhab lain, nama madzhab ini juga diambil dari nama pendirinya, yakni abdurrahman bin Muhammad Al-Auza’i yang lahir pada tahun 88 H. Imam Al-Auza’i ini termasuk ulama’ yang menentang penggunaan Al-Qiyas secara berlebihan. Beliau senantiasa mengembalikan furu’ pada hadits Nabi tanpa melakukan kajian Al-Qiyas.
Beliau menghabiskan sebagian besar hidupnya di Beirut, sampai wafat tahun 157 H. Akan tetapi madzhabnya lebih dikenal di Syiria, Yordania, dan bahkan sampai Andalusia atau Spanyol.
F.      MADZHAB LAITSI
Madzhab Laitsi ini merupakan madzhab yang dikembangkan oleh Imam Laits bin Sa’ad yang lahir di Mesir setelah belajar secara mendalam tentang berbagai bidang ilmu keislaman. Dalil-dalil yang beliau gunakan dalam melakukan kajian hukum hampir sama dengan para imam lainnya, hanya beliau tidak sependapat dengan Imam Malik dalam hal penggunaan tradisi masyarakat Madinah sebagai dalil dalam menetapkan suatu hukum. Beliau meninggal pada tahun 175 H.


G.    MADZHAB TSAURI
Madzhab ini dikembangkan oleh ulama terkemuka di Kufah yang bernama Imam Syufyan Ats-Tsauri yang lahir pada tahun 97 H. Imam Ats-Tsauri adalah ulama yang hidup semasa dengan Imam Abu Hanifah, akan tetapi mereka mempunyai pandangan yang berbeda dalam penggunaan Al-Qiyas dan Al-Istihsan.
Imam Ats-Tsauri pernah ditawari oelh khalifah untuk menjadi qadli dengan syarat tidak akan membuat fatwa yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah, namun beliau menolaknya. Akhirnya beliau dipaksa untuk berhenti mengajar. Setelah itu beliaupun hidup dalam persembunyian hingga wafat pada tahun 161 H.


H.    MADZHAB DHAHIRI
Madzhab ini dipelopori oelh Dawud bin Ali Al-Ashbahani yang lahir pada tahun 202 H. Beliau belajar fiqh dari murid-murid Imam Asy-Syafi’i oleh karenanya diriwayatkan pada mulanya beliau bermadzhab Asy-Syafi’i, namun akhirnya beliau mengkritik madzhab Asy-Syafi’i tersebut karena menurutnya Asy-Syafi’i tidak konsisten dengan menggunakan Al-Qiyas dan Al-Istihsan adalah sama. Dawud pernah berkata : “Saya telah mempelajari dalil-dalil yang  dipergunakan oleh Asy-Syafi’i untuk menentang Al-Istihsan, maka saya menemukan bahwa dalil-dalil tersebut membatalkan Al-Qiyas”.
Kemudian beliau menggunakan cara tersendiri dalam kajian hukumnya, yakni dengan menekankan pada pemahaman literasi yakni berpegangan pada makna harfiyah atau dhahir nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah, oleh karenanya, madzhabnya disebut dengan madzhab dhahiri, hal ini berlainan dengan nama madzhab-madzhab lain yang dinisbatkan dari metode kajian hukumnya.

I.       Faktor Penyebab Eksis dan Lenyapnya Suatu Madzhab
1.      Faktor-faktor penyebab eksisnya suatu madzhab :
a.       Adanya para murid dan pengikut yang turut menyebarkan pemikiran-pemikiran madzhab tersebut.
b.      Adanya pengaruh dan campur tangan penguasa dalam menentukan kebijakan dan aturan-aturan hukum suatu negeri, seperti kebijakan yang menentukan madzhab tertentu sebagai madzhab resmi negara.
c.       Adannya karya-karya peninggalan madzhab yang masih bisa diakses dan dipelajari oleh generasi berikutnya.
2.      Faktor-faktorr lenyapnya suatu madzhab :
a.       Adanya pengaruh dari kebijakan penguasa.
b.      Tidak adanya karya-karya peeninggalan madzhab yang memadai.
c.       Faktor para murid dan para pengikut.




KESIMPULAN
            Satu prinsip dasar yang dipegang sunni yang menjadi ciri baginya ialah dalam memahami agam mereka mengambil jalan tengah (wasathan). Mereka berpegangan pada asas keseimbangan (equalibrium) yang mengacu pada Al-Qur’an dan sunnah dan berusaha mencari perdamaian antara dua sisi ekstrim yang bertentangan. Sunni menyeimbangkan dan mendamaikan antara akal dan naql, menyeimbangkan antara dunia dan akhirat dan mendamaikan antara fiqh dan tassawuf.



DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedia hukum Islam, 1997, Jakarta, PT.Ichtiar Baru Van Hoeve
Muhammad Ali As-saayis, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Hikum Fiqh, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada

Tidak ada komentar: